Sejumlah Kendala dalam Proses Hukum Kasus Kekerasan Seksual
Jumpabet,SitusJumpabet,LinkalternatifJumpabet, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia Jember, Yamini Soedjai mengatakan, pihaknya seringkali menghadapi kendala dalam upaya mendampingi korban kekerasan seksual. Kendala-kendala tersebut kemudian dapat menyebabkan terhambatnya proses hukum untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual.Dia mengungkapkan, salah satu kendala yang harus dihadapi oleh korban kekerasan seksual adalah keterbatasan undang-undang terkait kekerasan seksual di Indonesia. Selain itu, undang-undang kekerasan seksual tersebut masih belum berperspektif pada korban.
Yamini mengungkapkan masalah ini dalam diskusi virtual bertajuk 'RUU P-KS Macet: Bagaimana Strategi Pendampingan Memenuhi Kebutuhan Korban' pada Rabu (16/9).
"Enggak ada pasal dalam undang-undang yang bisa mengakomodir hak korban (dan) yang bisa mewakili. (kasus) Ini pakai pasal apa? Contohnya pelecehan seksual. Kalau misalnya korbannya adalah anak, itu akan lebih mudah bagi kami dan penyidik juga untuk menentukan pakai pasal apa? Tapi kalau sudah 18 tahun lebih sehari aja, sudah sulit menentukan (pasalnya). Kalau pakai pasal pencabulan, harus nampak pemaksaannya itu bagaimana ia menolak atas pencabulan itu. Karena dianggap dia sudah dewasa, tidak ada pasal yang bisa membela korban," katanya.
Selain terkait keterbatasan undang-undang pelecehan seksual, kendala lain yang juga disampaikan oleh Yamini adalah korban yang tidak berterus terang. Bahkan terkadang korban melaporkan kasusnya setelah waktu yang lama.
Pelaporan kasus kekerasan seksual setelah waktu yang lama ini dapat menimbulkan kesulitan dalam proses pengumpulan barang bukti. Meski begitu, Yamini memaklumi hal tersebut karena korban membutuhkan waktu untuk mengumpulkan keberanian dan menghadapi rasa malu.
"Ada banyak kendala, selain karena malu, dikira aib, dan masyarakat masih menyalahkan korban. Dan biasanya pelakunya adalah orang-orang terdekat. Kami punya klien yang korban pelecehan seksual dan pelakunya adalah ayahnya sendiri. Ia tidak mau melaporkan ayahnya karena takut kualat. Hal-hal seperti itu tidak bisa kita lakukan, dan kita tidak bisa menyalahkan korban," ujarnya.
Untuk mengatasi masalah keraguan dalam diri korban, Yamini mengatakan, pihaknya mencoba merangkul para kliennya. Dari kasus-kasus yang dia tangani sebelumnya, keintiman yang diberikannya kepada korban dapat membantu untuk percaya padanya dan ikut aktif dalam memperjuangkan hak mereka guna mendapat keadilan.
Sedangkan untuk masalah keterbatasan undang-undang kekerasan seksual, Yamini hanya dapat berharap pada pengesahan RUU PKS.
"Kalau soal pasal undang-undang yang terbatas itu memang sampai saat ini, kami belum menemukan solusinya. Makanya itu kenapa hampir di setiap kesempatan kami selalu berteriak untuk mendorong RUU PKS itu segera bisa disahkan," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan hal serupa. Ia menyatakan, selama RUU PKS belum disahkan, maka kasus-kasus kekerasan seksual yang bisa dibawa ke pengadilan adalah kasus yang termasuk perkosaan (dengan konteks terbatas), pencabulan, dan persetubuhan.
Sedangkan untuk kasus seperti pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual non fisik, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual belum bisa dibawa ke ranah hukum.
REKOMENDASI
0 komentar:
Posting Komentar